Natal dan Astronomi

 Natal dan Astronomi

Apa hubungannya? 

Kita biasa melihat hiasan bintang pada pohon Natal. Gambar bintang juga kerap muncul dalam kartu-kartu Natal. Kisah tentang bintang itu sendiri termuat dalam Injil Matius. Tapi, apa sebenarnya hubungan antara dunia perbintangan dan Natal? Apa kiranya pesan di baliknya? Kita mungkin perlu merunut terlebih dahulu sifat pewahyuan Allah.

Pewahyuan Langit

Selama lebih dari dua ribu lima ratus tahun dunia tidak memiliki pewahyuan tertulis dari Allah. Pertanyaannya, Apakah selama itu Allah membiarkan tidak ada satu pun kesaksian tentang diri-Nya? Dalam Firman tertulis yang kita miliki sekarang ini, jawabannya sangat tegas: Tidak. Roma 1:19-20 menyatakan, “Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak daripada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.”

Namun, bagaimana Allah dapat dikenal? Bagaimana hal-hal “yang tidak nampak daripada-Nya” – seperti rencana-Nya, tujuan-Nya, petunjuk-Nya – dapat diketahui sejak dunia diciptakan? Roh Kudus mengungkapkannya dalam Roma 10:18. Dalam ayat 17 dinyatakan, “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” Kemudian muncul pertanyaan, “Tetapi aku bertanya: ‘Adakah mereka tidak mendengarnya?’ Memang mereka telah mendengarnya.” Di sini dapat muncul pertanyaan lagi: Bagaimana mereka telah mendengarnya? Jawabannya: “Suara mereka sampai ke seluruh dunia, dan perkataan (ajaran, berita, petunjuk) mereka sampai ke ujung bumi.”

Perkataan apa? Petunjuk apa? Berita siapa? Ajaran siapa? Hanya ada satu jawaban, yaitu LANGIT! Perikop tersebut merupakan kutipan dari Mazmur 19, yang terdiri atas dua bagian. Bagian pertama membicarakan Pewahyuan Allah yang tertulis di Langit, dan bagian kedua membahas Pewahyuan Tuhan yang tertulis dalam Kitab Suci.

Mazmur ini lebih dari sekadar pernyataan kekaguman terhadap karya cipta Allah. Dalam buku The Witness of the Stars, E.W. Bullinger menyimpulkan, “Kalau kita membaca seluruh pasal ini dan mencermati strukturnya, serta menyelidiki kata-kata yang digunakannya, kita dapat melihat dengan jelas langit memuat pewahyuan dari Allah. Langit bernubuat, menyampaikan pengetahuan, menceritakan kemuliaan Allah, serta memaparkan tujuan dan petunjuk-petunjuk-Nya.”

Kerinduan Segala Bangsa

Dalam nubuat mesianik yang disampaikan oleh Hagai, Yesus disebut sebagai Kerinduan Segala Bangsa (Hagai 2:7, menurut terjemahan King James Version). Kerinduan ini antara lain dapat dirunut melalui sistem pencatatan konstelasi bintang (astronomi), yang menurut penyelidikan sejarah purba telah dikenal dalam semua peradaban mula-mula. 

Buku The Gospel in the Stars oleh Joseph A. Seiss menyatakan, dalam sistem perbintangan, dengan konstelasi dan tanda-tanda zodiak yang menghiasi langit malam, kita sebenarnya bisa mendapatkan gambaran Injil Yesus Kristus dan rencana penebusan-Nya sepanjang segala abad. Sistem inilah yang selama ini telah disimpangkan oleh Iblis untuk menyembunyikan apa yang tertulis di dalamnya.

Catatan astronomis kuno dari berbagai bangsa menunjukkan, tiap-tiap tanda zodiak mempunyai imbangan yang sejajar dan sekaligus makna yang serupa. Catatan ini terunut sampai 2.000 tahun sebelum Masehi dalam sejarah bangsa Cina, Kasdim dan Mesir Kuno. Tradisi Persia dan Arab Kuno menyebut Adam, Set dan Henokh sebagai penemu sistem ini.

Alkitab pun tidak membisu sehubungan dengan konstelasi bintang, nama-nama dan maknanya. Dalam Kitab Ayub, yang secara umum dianggap kitab tertua dalam Alkitab, muncul acuan tentang beberapa nama dan kosntelasi bintang. Ayub 9:9, misalnya, menyebutkan bintang Biduk (Ash), Belantik (Cesil), Kartika (Cimah), dan gugusan-gugusan bintang Ruang Selatan. Ash, Cesil dan Cimah adalah nama-nama kuno beberapa bintang dalam astronomi Ibrani.

Dia Yang Kuduslah, Yang Berdiam dalam Kekekalan, yang menentukan jumlah bintang-bintang dan menyebutkan nama-nama semuanya (Mazmur 147:4). Dan bintang-bintang itu menceritakan kisah-Nya.

Salah satu konstelasi yang menonjol adalah Comah atau Kamah, yang dalam peta bintang paling kuno digambarkan sebagai perempuan yang tengah menimang anak. Konstelasi ini termasuk dalam zodiak Virgo (Perawan). Nama konstelasi ini dalam bahasa Ibrani berarti yang diinginkan, yang dirindukan atau yang dinanti-nantikan. Bangsa Persia, Kasdim dan Mesir mengajarkan, konstelasi Comah melambangkan perempuan muda yang nama Persianya menunjukkan, bahwa dia seorang perawan murni. Ia duduk di atas tahta menyusui seorang bayi laki-laki. Anak itu dalam bahasa Yunani disebut Christios. Adapun nama Mesir Kuno untuk konstelasi ini adalah Shesnu atau anak yang dirindukan.

Dalam berbagai kemungkinan, dari konstelasi inilah bintang Betlehem muncul. Ada nubuat tradisional yang terkenal – dan dengan cermat disampaikan secara turun-temurun – di kawasan negeri-negeri Timur, yang mengatakan, akan terbit suatu bintang baru dalam konstelasi ini sewaktu Dia yang dinubuatkannya lahir.

“Kami Telah Melihat Bintang-Nya”

Menurut Abulfaragius, sejarawan Arab Kristen, Zoroaster, orang Persia, adalah murid Nabi Daniel. Ia mengajarkan pada orang-orang Majus, para astronom Persia, bahwa sewaktu mereka melihat sebuah bintang baru muncul, hal itu menandakan kelahiran seorang anak misterius, yang harus mereka sembah. Dalam Zend Avesta dinyatakan lebih lanjut bahwa bintang baru ini harus muncul dalam zodiak Virgo. Sebagian orang menganggap perikop ini tidak asli. Namun, baik penyisipannya dilakukan sebelum maupun sesudah peristiwa itu terjadi, perikop tersebut memiliki arti penting. Bila ditulis sebelum kejadian, perikop itu merupakan bukti penyataan nubuatan; dan bila disisipkan setelah kejadian, perikop itu merupakan bukti fakta sejarah.

Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem, datanglah orang-orang bijaksana dari Timur ke Yerusalem. Istilah Yunani untuk orang tersebut magoi atau “Magi” (diindonesiakan menjadi “Majus”); dari situlah asal kata “magis”. Sebagian orang menyatakan bahwa mereka adalah astrolog. Namun, menurut Gene Edwards, mereka bukan benar-benar astrolog. Orang Majus adalah sebuah ordo kuno di Babel yang bertugas memberi nasihat pada raja. Kebanyakan mereka menafsirkan mimpi, sehingga raja dapat mengetahui apa yang disampaikan para dewa.

Datang ke Yerusalem, mereka bertanya, "Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia" (Matius 2:2). Memang agak ganjil bahwa orang-orang Media ini mengenal Mesias bangsa Yahudi, namun orang Yahudi telah tersebar ke bekas kekaisaran Persia dan banyak di antara mereka yang membicarakan janji yang terdapat di seluruh Perjanjian Lama. Daniel, seorang pemuda Yahudi, direkrut sebagai orang bijaksana di bawah kekaisaran Babel dan Persia. Jadi, orang-orang bijaksana dari Timur itu tentunya mengetahui kepercayaan tentang Penguasa Agung yang akan lahir di antara bangsa Yahudi.

Semua orang Majus itu mengatakan bahwa mereka telah melihat bintang Sang Mesias “di Timur”. Bila terjemahan ini tepat, berarti ketika mereka masih berada di timur Palestina, mereka telah melihat bintang itu. Namun banyak juga yang menerjemahkannya, “Kami telah melihat bintang-Nya di tempat terbitnya.” Berarti, mereka melihat ketika bintang itu terbit suatu malam dan tertarik oleh bintang itu, entah karena posisinya dalam konstelasi tertentu entah karena penampakannya itu sendiri.

Raja Segala Bangsa

Yang jelas, kisah ini lebih dari sekadar kisah tentang bintang sebagai sebuah fenomena astronomi. Bahwa kisah ini hanya muncul dalam Injil Matius dapat dijadikan catatan tersendiri. Matius dikenal sebagai Injil yang menggambarkan Yesus sebagai Raja. Kedatangannya orang-orang Majus dari Timur menunjukkan bahwa Yesus bukan hanya Raja orang Yahudi. Sebaliknya, Ia adalah Raja segala bangsa!

Dari sudut orang Majus, kita dapat menarik pelajaran berharga. Melihat fenomena langit yang istimewa, “kekekalan dalam hati” mereka pun terusik. Dan mereka bangkit mengikutinya, dengan kesungguhan hati, dan dengan membawa persembahan terbaik. Matius memaparkan, “Ketika mereka melihat bintang itu, sangat bersukacitalah mereka. Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.”

Respons yang menggetarkan! Respon ini pula yang akan menentukan, apakah geletar pengharapan kita akan mendapatkan pemenuhannya atau tetap menganga dalam kehampaan.

Max Lucado memberikan catatan menarik terhadap respon orang-orang Majus ini. “(M)ereka tidak puas dengan apa yang mereka lihat di langit malam. Bukan bintang itu tidak cemerlang. Bukan bintang itu tidak bersejarah. Menjadi saksi dari benda langit gemerlap itu merupakan kehormatan tersendiri, tetapi bagi para Majus itu belum cukup. Belum cukup melihat terang di atas Betlehem; mereka harus melihat Terang dari Betlehem. Untuk Dialah mereka datang dan Dialah yang mereka ingin lihat.”

Setelah Genap Waktunya

Dalam Galatia 4:4-5, Paulus mengatakan, "Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka."

Apakah yang dimaksudkan dengan "setelah genap waktunya"? Yesus datang pada waktu dan tempat yang begitu muram dalam lembaran sejarah. Palestina saat itu, seperti dilukiskan oleh Tom Marshall, menjadi ajang kekuasaan yang begitu bengis. Segala bentuk penindasan tengah bercokol di sana.

Negeri itu sedang dijajah oleh Romawi. Kekuasaan sipil dipegang oleh Herodes yang bertanggung jawab atas pembunuhan bayi-bayi di Betlehem. Selama itu, praktik keagaamaan dijalankan secara legalistik dan keras. Belum lagi perekonomian yang koyak-moyak: rakyat dibebani pajak dan disedot kekayaannya secara tidak adil, sehingga sebagian besar penduduk menanggung kemiskinan yang parah.

Secara rohani, kondisinya lebih gawat lagi. Kekuasaan Iblis mencecar melalui berbagai penderitaan yang disebabkan oleh sakit-penyakit dan kerasukan setan. Masa perubahan dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru ditandai oleh ledakan mendadak aktivitas roh jahat yang berlangsung secara amat mencengangkan, sehingga hampir seluruh bangsa tertimpa serbuan roh jahat sampai pada taraf yang mengancam keselamatan jiwa.

Tidak serupa benar, namun kita dapat membandingkannya dengan situasi dan kondisi bangsa kita selama krisis berkepanjangan yang diwarnai oleh berbagai gejolak dan kemuraman. Terbentuknya pemerintahan baru bukanlah akhir dari krisis, melainkan suatu titik tolak untuk melakukan penataan menuju Indonesia baru.

Natal, dengan demikian, merupakan momentum yang sangat menentukan. Melalui Natal, Allah menyediakan jawaban bagi kita -- sama seperti ketika Ia muncul sebagai Anak Manusia di tengah carut-marutnya keadaan Palestina. Alih-alih membawa penghukuman, Ia membuka pintu rekonsiliasi: “Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” (Yohanes 3:17).

Dari pihak kita sendiri, kita bisa menjadikan Natal sekadar sebagai tradisi tahunan yang gaungnya segera berlalu. Atau, kita bisa datang seperti orang-orang Majus itu, dan sujud menyembah Dia dalam kerendahan hati dan pertobatan, menjadikan Dia sebagai Raja dalam kehidupan kita, untuk melihat merekahnya fajar pengharapan baru..

.N.🌹

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Honda DBL NTT 2025 Road Show di SMA Katolik Giovanni Kupang

SMA Katolik Giovanni Melepas 341 Siswa, Ini Pesan Kepala Sekolah

Momen Bersejarah: Pengukuhan Ikatan Alumni SMA Katolik Giovanni Kupang Penuh Harapan dan Semangat Pelayanan