Perempuan di Bawah Salib, Laki-Laki di Tahta Budaya

𝐏𝐞𝐫𝐞𝐦𝐩𝐮𝐚𝐧 𝐝𝐢 𝐁𝐚𝐰𝐚𝐡 𝐒𝐚𝐥𝐢𝐛, 𝐋𝐚𝐤𝐢-𝐋𝐚𝐤𝐢 𝐝𝐢 𝐓𝐚𝐡𝐭𝐚 𝐁𝐮𝐝𝐚𝐲𝐚

(Ibu Nugi)

Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi.


Ketika Yesus tergantung di kayu salib, dicaci, diludahi, dicambuk, dan akhirnya ditinggalkan, di sanalah puncak penderitaan manusia ditelanjangi. Namun dalam peristiwa kelam itu, justru perempuan-perempuan tetap tinggal. Maria, ibu-Nya, Maria Magdalena, dan perempuan lainnya berdiri di bawah salib, menyaksikan penderitaan yang tak sanggup lagi ditanggung dengan kata-kata. Sementara banyak murid laki-laki-Nya pergi, perempuan memilih hadir. Tidak karena tak merasa takut, tapi karena kasih yang berani membuat langkahnya tak mundur.

Sebagai perempuan, kenyataan itu terasa akrab. Kehidupan sehari-hari sering kali menjadi semacam Golgota yang lain: tempat di mana tubuh dan jiwa diuji oleh sistem yang terlalu lama mengabaikan nilai keadilan dan kesetaraan. Sejak kecil, perempuan dibentuk untuk melayani, mengurus rumah, menjaga adik, membantu ibu, dan belajar untuk mendahulukan kebutuhan orang lain. Sedangkan anak laki-laki diajari menjadi pemimpin—duduk, menunggu, dilayani.

Akibatnya, ketika memasuki kehidupan perkawinan, beban itu terus terbawa. Perempuan bekerja mencari nafkah, merawat rumah, membesarkan anak, melayani suami, dan masih dituntut untuk tersenyum tanpa mengeluh. Perempuan dipuji karena "tangguh", padahal seringkali ketangguhan itu lahir dari keterpaksaan dan keterbiasaan menanggung semuanya sendiri.

Namun, seperti Kristus yang bangkit pada hari ketiga, perempuan pun tak berhenti di luka. Dalam diam, perempuan melawan. Dalam air mata, ia menyusun kekuatan. Perempuan hari ini tak hanya berdiri di dapur, tapi juga di ruang-ruang publik, di ruang kelas, di ladang, di meja rapat, dan di jalan-jalan perjuangan. Ia mulai menyuarakan bahwa tugas rumah bukanlah takdir biologis, bahwa tanggung jawab keluarga bukan beban sepihak, dan bahwa cinta bukan berarti meniadakan diri.

Sistem patriarki tidak hanya menyakiti perempuan—ia juga membatasi laki-laki. Ia menciptakan dunia yang sempit bagi keduanya. Laki-laki dipaksa untuk tak menangis, tak lemah, tak merawat, tak ragu. Sedangkan perempuan dilarang marah, dilarang menolak, dilarang memilih. Dalam ketimpangan ini, keduanya kehilangan ruang menjadi manusia yang utuh.

Sebagai perempuan, merenungkan sengsara dan wafat Kristus bukan hanya soal iman, tapi juga tentang menemukan cermin: bahwa penderitaan sering kali lahir dari ketidakadilan yang dipelihara oleh struktur yang salah. Namun salib Kristus juga memberi harapan, bahwa dari luka terdalam pun, kehidupan baru bisa tumbuh.

Perempuan tidak sedang meminta diistimewakan. Hanya ingin diakui, dihargai, dan diperlakukan sebagai manusia yang setara. Seperti Yesus yang wafat bukan karena kalah, tapi karena kasih yang mengalahkan kekuasaan dunia.

Dan seperti perempuan-perempuan di bawah salib, perempuan hari ini pun tetap memilih untuk berdiri. Dengan luka, dengan cinta, dengan harapan yang tak pernah padam.

---

.N.🌹

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Honda DBL NTT 2025 Road Show di SMA Katolik Giovanni Kupang

SMA Katolik Giovanni Melepas 341 Siswa, Ini Pesan Kepala Sekolah

Momen Bersejarah: Pengukuhan Ikatan Alumni SMA Katolik Giovanni Kupang Penuh Harapan dan Semangat Pelayanan