Selamat Hari Kartini; Tapi Apa Yang Kita Rayakan?

𝗦𝗲𝗹𝗮𝗺𝗮𝘁 𝗛𝗮𝗿𝗶 𝗞𝗮𝗿𝘁𝗶𝗻𝗶; 𝗧𝗮𝗽𝗶 𝗔𝗽𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗞𝗶𝘁𝗮 𝗥𝗮𝘆𝗮𝗸𝗮𝗻?

Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi.

Hari ini, tanggal 21 April, kita kembali mengucapkan: “Selamat Hari Kartini.” Banyak dari kita mengenakan kebaya, rambut disanggul rapi, dan berswafoto penuh senyum. Di media sosial pun, barisan caption klise bermunculan.

Tapi mari kita berhenti sejenak dan merefleksikan, apa benar kebaya menjadi simbol hari Kartini?

Kartini tidak mewariskan perjuangan hanya dalam bentuk kain dan gaya rambut. Ia mewariskan tinta dan pemikiran. Ia menulis, bukan karena ingin terkenal, tapi karena ingin didengar. Karena suaranya dikurung oleh adat, oleh sistem, oleh bayang-bayang patriarki yang bahkan terlalu sering memakai pakaian adat sebagai tameng untuk membungkam.

Di balik kebaya yang kini kita rayakan, dahulu ada tubuh yang dijebak oleh adat, oleh perjodohan, oleh batasan pendidikan. Tapi di balik itu juga, ada seorang perempuan muda yang memilih melawan dengan pena. Menulis surat demi surat kepada Stella dan teman-teman Belandanya, bukan untuk sekadar curhat, tapi untuk mendokumentasikan luka, harapan, dan impian akan masa depan perempuan di negerinya. Ia membangun jembatan literasi dari balik jeruji adat.

Sayangnya hari ini, perjuangan itu sering dibungkus manis dengan hiasan selebrasi, tanpa substansi. Hari Kartini hanya menjadi parade. Sementara banyak perempuan muda kita malah sibuk menari TikTok dengan lagu yang merendahkan tubuh mereka sendiri. Bukan berarti perempuan tidak boleh menari. Tapi menarilah dengan sadar, bukan sebagai bentuk pelarian dari sistem yang tidak memberi ruang untuk berpikir dan bersuara.

Kartini bukan anti kecantikan. Tapi ia tidak berhenti di situ. Ia ingin perempuan cerdas, bukan hanya terlihat menarik. Ia ingin perempuan didengar, bukan hanya dilihat. Ia ingin perempuan belajar, menulis, mengisi ruang publik. Dan kalau hari ini kita masih punya guru perempuan yang mengajar dengan gaji kecil, relawan yang membagi ilmu tanpa pamrih, ibu rumah tangga yang menyelipkan waktu membaca di sela lelahnya—mereka itulah Kartini hari ini.

Kartini, bila hari ini engkau bisa melihat ke sekeliling, mungkin hatimu campur aduk: ada bangga, tapi juga getir. Karena sebagian dari kami masih sibuk berjuang dengan sunyi. Masih banyak yang menulis tapi tak pernah dibaca. Masih banyak yang memilih berpikir tapi dianggap aneh. Masih banyak yang dipaksa diam hanya karena mereka perempuan.

Kartini pernah berkata: “𝑮𝒂𝒅𝒊𝒔 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒊𝒌𝒊𝒓𝒂𝒏 𝒍𝒖𝒂𝒔, 𝒕𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊 𝒄𝒊𝒕𝒂-𝒄𝒊𝒕𝒂𝒏𝒚𝒂, 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒑𝒖𝒂𝒔 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒃𝒐𝒏𝒆𝒌𝒂, 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒎𝒂𝒏𝒖𝒔𝒊𝒂.”


Hari ini, mari kita bertanya pada diri sendiri:  

Apakah aku hanya boneka, atau sudah jadi manusia?

𝙎𝙚𝙡𝙖𝙢𝙖𝙩 𝙢𝙚𝙧𝙖𝙮𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙝𝙖𝙧𝙞 𝙋𝙚𝙧𝙟𝙪𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙋𝙚𝙧𝙚𝙢𝙥𝙪𝙖𝙣 𝙄𝙣𝙙𝙤𝙣𝙚𝙨𝙞𝙖 🌹

___

.N.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembekalan MPLS SMA Katolik Giovanni Kupang: Langkah Awal Menuju Generasi Unggul Berkarakter NTT

SMAK Giovanni Kupang Sambut Tahun Ajaran Baru 2025/2026 dengan Semangat Cinta, Pelayanan, dan Ketaatan ‎ ‎

Hari Pertama MPLS Ramah SMAK Giovanni Kupang Berlangsung Meriah dan Inspiratif ‎