Sepatu Lusuh Sang Gembala : Sederhana Sampai Akhir
πππ₯ππ©πͺ ππͺπ¨πͺπ πππ£π πππ’πππ‘π: πΊππ
ππππππ πΊπππππ π¨ππππ
![]() |
| Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi. |
Dalam keheningan peti kayu sederhana, sepasang sepatu hitam itu terbaring bisu. Kulitnya lusuh, ujungnya robek, seperti telah menempuh jalan yang panjang dan berat. Bukan sepatu megah dari istana. Bukan pula lambang kekuasaan. Melainkan saksi bisu tentang hidup yang memilih sederhana, tentang langkah yang lebih mementingkan pelukan daripada mahkota.
Sang Gembala, yang kini terbaring dalam keheningan, pernah melangkah ke lorong-lorong sempit, menjemput mereka yang dibuang dunia. Ia tahu, kasih tak butuh gemerlap. Ia paham, pengampunan tak mengenal pakaian mewah. Ia percaya, bahwa sepatu yang compang tak akan mengurangi makna perjalanan kasih.
Di negeri-negeri yang jauh, banyak yang mengira kekudusan harus berkilau. Tetapi sepatu Sang Gembala ini mengajarkan; kekudusan justru tumbuh dalam keausan, dalam ketulusan yang tak pernah mengumbar diri.
Kini, sepasang sepatu tua itu berhenti melangkah. Namun jejaknya tetap hidup, di hati yang pernah disentuhnya, di jiwa-jiwa yang akhirnya percaya bahwa cinta Tuhan itu sederhana, tak menghakimi, dan selalu pulang kepada yang kecil dan terluka.
Terima kasih, Bapa Fransiskus π
Lewat sepatumu, kami belajar: jalan kebenaran tak selalu bersih, tapi selalu penuh kasih.
______
.N.πΉ
.jpg)
Komentar
Posting Komentar