Sebuah Cerpen: Sorot Pelangi Yang Hampir Pudar

 Sorot Pelangi Yang Hampir Pudar 

Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi.

Pagi itu tampak seperti hari-hari biasanya. Para siswa melangkahkan kaki menuju sekolah dengan senyum mengembang di wajah mereka. Di antara mereka, tampak Rio, kapten tim basket yang digandrungi banyak siswi. Ia berjalan bersama Ara, sahabat karib yang telah dikenalnya sejak duduk di bangku sekolah dasar. Keduanya selalu bersama, layaknya kakak dan adik. Mereka saling menyemangati dan berusaha menciptakan hari-hari penuh semangat.

‎Rio dikenal sebagai sosok yang ramah dan murah senyum, seolah sorot matanya bisa memancarkan aura positif bagi siapa pun yang melihatnya. Tak hanya berprestasi di bidang olahraga, ia juga memikat banyak hati. Namun, di balik semua pesonanya, Rio tidak pernah benar-benar memahami apa itu mencintai dan dicintai. Berbanding terbalik dengan Ara, yang meskipun memiliki wajah menawan layaknya Rio, sering menjadikan cinta sebagai permainan hati.

‎Hari-hari mereka diwarnai canda dan tawa, sampai suatu ketika hadir seorang gadis bernama Shilla. Cantik dan berhati lembut, Shilla mengubah hidup Rio. Diam-diam, Rio mulai menyimpan rasa padanya. Hanya Ara yang mengetahui perasaan itu.

‎“Kapan nih lo mulai deketin Shilla? Hati-hati, sob! Keburu diambil orang,” celetuk Ara saat bel istirahat berbunyi.

‎“Ah, lo kayak baru kenal gue sehari aja. Gue minder, Bos, deketin cewek cantik kayak Shilla. Lo tahu sendiri penyakit gue gimana sekarang,” jawab Rio, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.

‎Ara mencoba menyemangatinya. “Ayolah, tunjukin perasaan lo! Gue yakin lo bisa!”

‎Meski kalimat itu terus terngiang dalam benaknya, Rio tak kunjung bergerak. Bukan karena takut ditolak, melainkan karena dua alasan besar. Pertama, keluarganya. Sejak ibunya menjadi orang tua tunggal dua tahun lalu, Rio berjanji untuk membahagiakan satu-satunya wanita terpenting dalam hidupnya—ibunya. Kedua, penyakitnya.

‎Rio mengidap Glioma, sejenis kanker ganas yang menyerang sumsum tulang belakang. Dokter memberinya harapan hidup hanya sekitar 50%. Awalnya Rio merasa hidupnya tak berarti, namun perlahan ia belajar untuk tetap tegar, menjalani hari-hari bersama Ara dan juga Shilla, gadis yang diam-diam dicintainya.

‎Ara tak henti memberi semangat. Berkat Ara, Rio akhirnya berani menyatakan cinta. Shilla pun menerima Rio, dan semenjak itu, hidupnya kembali cerah.

‎“Tuh, gue bilang juga apa! Lo jangan gampang nyerah sebelum mencoba. Buktinya, Shilla sekarang jadi pacar lo!” ujar Ara sambil merangkul Rio.

‎“Sekarang gue percaya, selama kita berusaha, kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan. Makasih, Sob! Gue bakal nikmatin hidup gue sebaik mungkin,” balas Rio penuh semangat.

‎Namun, seminggu kemudian, kabar buruk datang. Saat berkonsultasi rutin ke dokter, Rio mendapat kenyataan pahit. “Sel kanker di tulang belakang kamu menyebar. Harapan hidup penderita Glioma rata-rata hanya 46 bulan,” ucap sang dokter.

‎Waktu seakan berhenti. Tapi Rio memilih untuk tetap menjalani hari-harinya dengan penuh semangat bersama Ara dan Shilla.

‎Kehadiran kanker menguji hubungan Rio dengan Shilla dan ibunya. Namun, di sisi lain, penyakit itu juga membawanya pada banyak pelajaran hidup dan kebahagiaan kecil yang selama ini terabaikan.

‎Menjelang malam prom night, Shilla bertanya, “Prom night tinggal beberapa hari lagi, kita jadi datang bareng, kan?”

‎“Jadi dong. Kita bertiga bareng-bareng, ya,” jawab Rio dengan semangat.

‎Malam yang ditunggu-tunggu pun tiba. Semua siswa tampak bahagia di pesta perpisahan itu. Rio lulus dengan nilai terbaik dan meraih peringkat pertama dalam Ujian Nasional. Ara pun diterima di universitas impiannya, dan Shilla berhasil masuk fakultas kedokteran.

‎Tiba-tiba, Rio naik ke atas panggung dan berseru di tengah keramaian, “Gue itu sebenernya ngidap Glioma, kanker tulang belakang yang udah akut banget. Hahaha!”

‎Semua terdiam. Tak jelas apakah itu candaan atau kenyataan. Ara buru-buru menarik Rio dan berkata, “Hahaha, lo semua kayak nggak kenal Rio aja. Dia suka becanda.”

‎Namun Shilla menangis. “Gila lo, Yo! Ngomong apaan sih barusan?”

‎Dengan tenang Rio menjawab, “Gue cuma bercanda… Tapi seenggaknya, nanti mereka nggak penasaran kalau tahu gue udah nggak ada.”

‎Ara menatapnya tajam. “Ngomong apa sih lo?”

‎Hari kelulusan akhirnya tiba. Semua siswa bersuka cita, kecuali Rio, yang justru merasa hari itu seperti hari-hari biasa. Hanya kehadiran Shilla di sisinya yang membuatnya sedikit berbeda.

‎Tiba-tiba, Rio memeluk Shilla erat dan berbisik, “Shilla, kamu harus jadi dokter. Mungkin suatu saat nanti, cuma kamu satu-satunya yang bisa nyembuhin penyakit aku.”

‎Shilla terdiam. Kata-kata itu menggantung di pikirannya.

‎Namun, malapetaka datang. Di tengah perayaan kelulusan, suara teriakan terdengar dari balik panggung, “Yo! Bangun! Rio kenapa?!”

‎Rio tergeletak, darah mengucur dari hidung hingga setengah wajahnya. Semua panik. Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia berubah menjadi duka. Mata Rio, yang biasanya bersinar seperti pelangi, kini redup, tertutup darah dan keheningan.

‎Hari itu bukan hanya menjadi perpisahan bagi para siswa. Tapi juga... untuk Rio.

(Ibu Putry Tanay).

...

Mari kembangkan minat dan bakat kalian di dunia tulis menulis. Teruslah melangkah lebih jauh SMA Katolik Giovanni Kupang 😇. Love, Service and Obidience 😇.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Honda DBL NTT 2025 Road Show di SMA Katolik Giovanni Kupang

SMA Katolik Giovanni Melepas 341 Siswa, Ini Pesan Kepala Sekolah

Momen Bersejarah: Pengukuhan Ikatan Alumni SMA Katolik Giovanni Kupang Penuh Harapan dan Semangat Pelayanan